jump to navigation

Jika Vegetarian Berhaji August 2, 2012

Posted by Juniawan Priyono in Lifestyle, Makna Haji.
add a comment

Rasanya baru beberapa minggu pulang dari tanah haram. Bagaimana tidak? Lengkingan suara azan dari Masjidil Haram yang begitu khas itu masih terngiang. Ingatan akan Babbul Fatah, pintu masuk favorit untuk mulai umrah. Berapa jumlah anak tangganya, di mana mesti meletakkan sandal supaya tidak tertukar. Juga pengalaman tak terlupakan saat mencium Hajar Aswad. Subhanallah, kata pak kyai itu hadiah dari Allah karena saya sabar mengurus jemaah haji lanjut usia.

Persiapan dari A sampai Z sepertinya sudah semua. Perlengkapan sudah dimasukkan koper dan dikirim ke embarkasi. Kebutuhan selama perjalanan hingga Madinah—karena tergabung dalam gelombang pertama—sudah tertata rapi di tas tenteng. Tas dada juga sudah terkalung di leher. Menjelang subuh, kakipun melangkah menuju masjid desa, pamit terakhir kali kepada kerabat. Bismillahirahmanirahim. Labbaikallahuma labbaik. Ya Allah, saya datang memenuhi panggilan-Mu.

Di mobil yang mengantarkan ke pendopo kabupaten, kakak perempuan tertua berpesan, “Besok di sana, kalau tidak ada tempe, apa yang ada dimakan. Yang penting jaga kesehatan, supaya bisa beribadah. Sementara tidak harus bervegetarian.”

Tak urung, pesan itu membuat hati ini sedih. Suasana yang gelap membuat air mata yang menetes di pipi tidak tampak oleh seisi mobil. Apakah persoalan makan bakal mengganggu kekhusyukan ibadah saya nanti di sana? Apakah Allah akan memberikan hukuman kepada hamba-Nya yang “menolak” makanan hewani? Ya Rabbi, saya tidak mengharamkan apa yang Engkau halalkan. Apa yang ada di atas piring untuk dimakan adalah pilihan saya sendiri. Bukankah Rasulullah juga mengajarkan jika beliau menginginkan sesuatu makanan maka akan dimakan, dan sebaliknya jika tidak menyukai akan ditinggalkan tanpa mengucapkan celaan. Izinkanlah saya bervegetarian selama berhaji.

Pada saat mengikuti kegiatan manasik yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama maupun Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, tidak banyak informasi yang didapatkan. Pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji tidak memberikan fasilitas khusus terkait menu makanan vegetarian. Kebanyakan petugas tidak paham apa itu vegetarian. Hal yang sedikit membesarkan hati adalah informasi dari seorang teman, reporter sebuah stasiun televisi swasta yang entah sudah berapa kali meliput ibadah haji. “Semua ada di toko kelontong, atau kalau mau banyak pilihan ke pasar. Orang Arab juga pengonsumsi buah yang banyak, jadi bermacam buah dengan harga terjangkau tersedia.” Berarti doa Nabi Ibrahim agar keluarganya yang ditinggalkan di Makkah diberi rizki berupa buah-buahan (baca QS. Ibrahim: 37) dikabulkan hingga sekarang.

Di Madinah

Selama penerbangan Solo-Jeddah, jemaah mendapatkan jatah makan siang dari Garuda. Biasanya saya iseng menanyakan ke pramugari, “Ada menu vegetarian?” Kali itu tidak. Saya sudah bertekad untuk menjalani ibadah haji dengan bervegetarian, (mungkin) dengan segala kesulitannya.

Delapan hari di Madinah dengan target menjalankan salat Arba’in—salat lima waktu 40 kali tanpa terputus—di Masjid Nabawi, tidaklah berat. Tinggal di Hotel Barakat Al Andalus yang berjarak 700-an meter, dapat jatah makan siang dan malam, sebenarnya cukup untuk mendukung ibadah dengan khusyuk. Tetapi kewajiban untuk mengurus Mbah Supiyono (76 tahun), membuat saya pontang-panting. Sebagai ketua regu, saya menandatangani surat pernyataan bersedia menjadi pendampingnya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, harus menjadi pramurukti seorang kakek yang sedang sakit dan mengalami disorientasi. Bahkan harus mengajarinya beribadah laiknya dari nol, sebelum kemudian ingatannya sedikit pulih.

Sarapan pagi gampang dibeli sepulang salat Subuh. Banyak mukimin Indonesia yang menjual nasi bungkus. Ada nasi kuning dan nasi goreng beserta lauknya, juga nasi gudeg seharga 2-3 riyal. Sementara jatah makan dari muasasah, menunya nasi dengan sayur buncis-wortel terkadang kol atau kentang. Soal rasa, jangan ditanya. Lauknya daging, ayam goreng, atau telur balado. Alhamdulillah ada saja sesama jemaah yang mau menerima limpahan lauk.

Untuk memenuhi kebutuhan protein, saya keluarkan bekal kering tempe dan sambal kacang dari koper. Tinggal asupan sayuran hijau yang harus ditambah. Persediaan Tipco sudah habis. Di mini market tak ada jus sejenis. Hanya ada pickle (asinan) seharga 4-5 riyal. Rasanya sangat masam dan asin jika tidak diolah. Rumah Makan Si Doel jauh letaknya, pun tidak searah perjalanan. Tidak mungkin meninggalkan Mbah Supi lama-lama. Untuk berangkat salat saja terkadang harus lari berkejaran dengan usainya azan.

Alhamdulillah Allah memberikan kemudahan, membuat saya semakin yakin kalau diridai bukan dihukum. Ada selebaran berisi informasi “opening” rumah makan Alkarat. Dari pintu King Abdul Aziz lurus ke utara dua blok, mentok belok kiri. Tepatnya di belakang Hotel Taiba. Pemiliknya orang Sunda, tidak heran kalau banyak menu sayur. Saya bisa makan sayur asem, oseng tahu, dan bubur kacang hijau. Tujuh belas riyal karena minta porsi kecil, plus sedikit cincai.

Kebab Vegi

Keluar dari pintu 79 Masjidil Haram, arah barat daya menuju Misfalah, tepatnya di sebelah timur pelataran parkir, berjajar gerai makanan cepat saji. Mulai dari fried chicken, burger, sandwich, kebab, hingga daging panggang iris. Ke situlah saya mampir untuk membeli kebab pengganjal perut selesai umrah atau salat Subuh. Pelayannya sampai hafal dengan pesanan saya: “Kebab Vegi ala Hajj Indonesie”. Roti cane diisi irisan kol, bawang bombai, dan tomat, dikasih saus sambal sebagai pengganti mayones. Ditambah segelas teh celup panas cukup dengan dua riyal. Jika minumannya diganti jus buah segar, tambah empat riyal.

Tidak seperti yang lain, bisa seharian di Masjidil Haram. Dengan kondisi kesehatan Mbah Supi yang semakin membaik, mestinya tugas saya semakin ringan. Namun tetap saja tidak bisa meninggalkannya lama karena ada satu kebiasaannya yang sulit diubah yaitu harus minum air panas. Air zamzam saja dibilang air mentah. Daripada si kakek dehidrasi. “Sing waras ngalah,” pesan pak kyai. Padahal sesuai hasil undian, kloter kami mendapatkan tempat di maktab 61. Lokasinya di Bakhutmah, arah barat daya dari Masjidil Haram. Kata petugas sih jaraknya sekitar 2,5 km. Tapi itu kalau daerahnya datar. Nah, Bakhutmah-nya itu hampir di ujung paling atas. Sampai di pemondokan pasti ngos-ngosan. Berjalan kaki 6-7 kilometer sehari—karena dua kali pergi-pulang, sisanya yang 3-4 km bisa ditempuh dengan naik angkutan—membuat saya harus pintar mengatur waktu dan menjaga kondisi tubuh. Latihan jalan/lari 4 kilometer per hari selama enam bulan sebelum berangkat, sangat terasakan manfaatnya.

Seperti halnya di Madinah, menjelang jam makan, banyak sekali mukimin Indonesia yang berjualan makanan di depan pemondokan. Bedanya lebih banyak jenis olahan sayur dan penganan. Harganya pun lebih murah, separuhnya. Yang suka semur jengkol, jangan khawatir. Lha wong yang aneh macam kedelai rebus saja ada. Semua sudah dibungkus dalam plastik bening. Tinggal pilih, satu riyal-an. Herannya, tempe malahan dihargai dua riyal. Apakah karena masih harus didatangkan dari Indonesia ya? Seperti yang saya jumpai di sebuah mini market yang menjual tempe produksi Kediri.

Untuk asupan hijauan, saya membelinya di mini market sekitar maktab yang memajang papan nama “Toko Indonesia”—meskipun pemiliknya bukan orang Indonesia. Pelayannya pun dari India dan Bangladesh, tapi pintar berhitung dengan bahasa Indonesia. Seikat bayam, kangkung, atau selada dihargai 3-5 riyal. Sebenarnya bisa membuat jus sayur campur buah. Blender termurah 70 riyal. Tapi… mana sempat? Mendingan waktunya buat mencuci baju atau mengecek kondisi anggota regu. Mendengarkan keluhan mereka, menyampaikan informasi, memintakan obat ke petugas kesehatan kloter, atau membalaskan sms dari keluarganya. Belum lagi kalau tiba-tiba harus mengantar jemaah yang harus dirujuk ke pos kesehatan sektor. Butuh tenaga muda untuk “dorong-tahan” kursi roda di tanjakan dan turunan. Atau harus mengepel karena ada yang kencing di dapur atau ngompol di koridor.

Sepulang salat Subuh, Zuhur, dan Magrib banyak sekali orang memberikan sedekah roti, jus kotak, pisang, apel, buah pir, dan nasi briyani dengan potongan besar daging atau ayam. Saya selalu mencoba menghindari yang terakhir ini. Pernah suatu siang selepas salat Zuhur, saya dipanggil-panggil untuk dibagi nasi dalam kotak aluminium foil ini. “Halal… halal…,” katanya. Meskipun saya sebenarnya sudah menyengaja berjalan di jalur pedestrian seberang. Rasa rempahnya yang menyengat, membuat orang ndeso seperti kami tidak doyan. Saya pun ber-istighfar dan memohon ampunan Allah. Alhamdulillah, sesampai di tangga depan pemondokan ada resepsionis Bangla yang mau menerima nasi itu.

Makan Kerupuk

Antri… lagi-lagi harus mengantri. Antri pertama untuk mengambilkan jatah makan Mbah Supi. Kembali lagi ke baris antrian untuk saya sendiri. Dengan dalih apapun, petugas katering tidak mau mengerti. Mesti sabar selama empat hari di Arafah dan Mina. Dapatnya juga tetap sama, nasi sayur plus kerupuk. Tak sekalipun ada tempe atau tahu.

Tanpa persiapan cukup saat bertolak wukuf, saya menerima risikonya. Terlalu ngoyo mengkhatamkan Alquran, mengejar salat sunat seribu rakaat di Masjidil Haram, dan memburu sepuluh kali umrah, membuat saya tidak sempat menyiapkan bekal. Padahal bisa saja membeli jamur dan kacang merah kaleng, sambal mangga, selai, kecap kedelai, atau snack berkalsium di Safa Shoping Center, Misfalah yang buka 24 jam. Roti gandum juga bisa dibeli di bakery—awalnya saya kira toko elektronik karena sekilas terpampang kata “Electrical Bread”—persisnya di kanan jalan sebelum taman Ar Rajhi Bank. Tetapi kedua kaki tidak bisa diajak kompromi lagi. Sebenarnya sih sudah pesan setengah kilo kering tempe ke ibu pedagang yang biasa mangkal di depan pemondokan, tetapi si ibu tidak muncul hingga hari H keberangkatan. Buah, kurma, dan air zamzam—ke manapun saya membawa botol sporty berisi air terbaik dan termulia ini—yang akhirnya menjadi suplemen.

Dam dan Kurban

Ingatan melayang ke masa silam, saat memutuskan menjadi seorang vegetarian. Sebagai pekerja sosial di bidang kebencanaan dan pegiat lingkungan, saya berniat menjalankan green lifestyle terlebih dahulu sebelum berteriak-teriak kampanye pengurangan risiko bencana dan kesadaran lingkungan. “Bayangkan dan coba hitung, berapa besar energi yang dihabiskan untuk memproduksi pangan hewani?” Senjata andalan saya untuk berargumen. “Kerusakan lingkungan adalah persoalan kebutuhan energi yang tak terkendali!”

Ketika memutuskan menjadi seorang vegetarian, itu merupakan perwujudan istiqomah saya dengan persoalan lingkungan global. Bukan karena alasan tidak mau membunuh atau menyakiti hewan ternak. Oleh karena itu, memotong hewan untuk membayar dam karena melakukan haji tamattu’ dan kurban pun tetap saya lakukan. Namun, saya lebih meyakini bahwa (sebenarnya) yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita: rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, tidak mengenal hukum dan norma. Seperti tulisan Prof. Quraish Shihab dalam sebuah renungan Iduladha di salah satu media massa. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan, dan dijadikan kurban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT. Meneladani Nabi Ibrahim AS, dalam bentuk kehidupan sekarang ini, semestinya para vegetarian berbangga karena sudah berkorban mengalahkan kecintaan menikmati daging untuk menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan dan energi.

Pulang

Pulang kembali ke tanah air adalah saat yang dinantikan para jemaah haji. Mendengar pengumuman kepastian waktu kepulangan, membuat jemaah haji mendadak sehat. Kalau flu, batuk, dan masuk angin sih biasa. Saya pun ikut menjadi anggota “orkestra batuk” itu. Selama di sana, obat batuk cair—dikenal sebagai Obat Batuk Haji (OBH)—maupun tablet serasa tidak mempan. Juga bagi saya yang terpaksa minum tablet non-herbal itu. “Kamu harus sehat. Banyak orang yang bergantung kepadamu,” rayu pak dokter kloter. Anehnya, setelah di rumah, hanya meminum air parutan jahe dan kencur langsung sembuh. Jadi terpikir, bagi calon jemaah haji, bawa saja serbuk jahe dan kencur dalam kemasan botol plastik yang banyak dijual di pasaran. Praktis, di sana tinggal diseduh.

Banyak pelajaran yang saya petik dari perjalanan ruhani (ala vegan) ini. Pertama, mempersiapkan segala kebutuhan dari rumah memang penting, namun sesungguhnya bekal yang terbaik adalah takwa. Sebagai tamu-Nya, percayalah bahwa Allah sudah mengatur semuanya. Tidak perlu takut dihukum Allah karena vegetarian. Allah lebih melihat hati (iman) dan amalan kita. Kedua, perjalanan haji selama empat puluh hari bukanlah wisata dengan segala kesenangannya, termasuk menikmati makanan yang enak. Cukuplah makan dan minum untuk suplai energi dan menjaga kesehatan demi kekhusyukan ibadah kita. Ketiga, perjalanan haji bukanlah perjalanan individual, berlomba-lomba (egois) beribadah sebanyak-banyaknya, abai fungsi sosial kita. Semakin banyak membantu, semakin dipermudah Allah, bahkan diberikan hadiah langsung tanpa menunggu sampai penghitungan di hari akhir kelak. Keempat, bersyukurlah menjadi vegetarian karena kondisi tubuh lebih kuat dan pemulihan dari kelelahan—tak dipungkiri bahwa ritual ibadah haji dalam bentuk kekuatan fisik—lebih cepat. Kelima, bervegetarian menjadikan kita pribadi yang lebih sabar, dan ini sangat membantu dalam menjalani ujian kesabaran selama beribadah haji. Semoga sedikit pengalaman ini bisa menjadi panduan bagi calon jemaah haji vegetarian atau yang berdiet protein hewani.

# Jemaah Haji Indonesia 1432 H, Kloter 10 SOC Solo.