jump to navigation

Paradigma Penanggulangan Bencana October 30, 2013

Posted by Juniawan Priyono in Bencana.
trackback

Dalam kolom Wacana di Harian Suara Merdeka (Selasa, 22/10/2013) berjudul Kebijakan Berisiko Bencana, Sri Mulyadi menuliskan bahwa banyak kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menyimpang dari tiga filosofi penanggulangan bencana: menjauhkan masyarakat dari (ancaman) bencana, menjauhkan (ancaman) bencana dari masyarakat, atau hidup berdampingan secara harmonis dengan (ancaman) bencana. Dampaknya, kebijakan pembangunan tersebut malah mengundang atau mendatangkan bencana.

Tiga filosofi penanggulangan bencana yang dikutip dari Kepala BNPB tersebut bener tapi kurang pener. Maksudnya, filosofi pertama secara logika bisa dilakukan alias bener. Seperti halnya yang dicontohkan Sri Mulyadi yakni relokasi permukiman. Menjadi kurang pener karena pada kenyataannya sulit dilakukan. Jika mengingat konsep manajemen risiko, filosofi kedua meskipun terdengar puitis juga kurang pener. Ancaman bencana hanya bisa diminimalkan, bukan dijauhkan. Sementara filosofi ketiga memang bener dan sudah seharusnya dijalankan oleh masyarakat. Hal penting lainnya, penggunaan terminologi “ancaman bencana”—kata ancaman dalam tanda kurung sengaja ditambahkan—lebih tepat dibandingkan tanpanya karena memiliki pengertian yang sangat berbeda.

Bencana atau Ancaman Bencana 

Dalam “Terminologi Pengurangan Risiko Bencana” yang dilansir oleh UN/ISDR¾badan resmi PBB yang menangani pengurangan risiko bencana, bencana (disaster) diartikan sebagai gangguan serius pada berfungsinya komunitas atau masyarakat disertai kehilangan dan dampak yang luas terhadap manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan; yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat terdampak untuk mengatasinya menggunakan sumber daya yang dimiliki. Pembahasan tentang bencana biasanya diawali dengan adanya suatu fenomena yang mempunyai potensi ancaman terhadap kehidupan dan penghidupan. Dalam Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook, Nick Carter (1991) mengistilahkannya sebagai ancaman bencana (disaster threat). Mengutip Frederick Cuny (1983) dalam Disasters and Development, sesungguhnya alam semesta dan isinya ini bersifat netral. Hanya pada saat tertentu, ketika ancaman itu menjadi suatu peristiwa yang berdampak merugikan manusia, maka peristiwa itu disebut sebagai suatu bencana.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa terminologi yang semestinya digunakan dalam filosofi penanggulangan bencana adalah ancaman bencana, bukannya bencana. Bencana toh sudah terjadi dan mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis—lihat definisi bencana dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menjauhkan masyarakat dari bencana, sama artinya dengan evakuasi pada masa tanggap darurat. Siapa yang bisa memindahkan bencana banjir, tsunami, erupsi gunungapi? Mungkinkah hidup nyaman harmonis dalam suasana kesusahan akibat tertimpa bencana?

Ada satu istilah lain yang semakna dengan ancaman yakni bahaya (hazard). Nick Carter mendeskripsikannya sebagai kejadian atau peristiwa yang mungkin mengancam (possible threatening event). Istilah bahaya biasa digunakan oleh UN/ISDR dan para pelaku penanggulangan bencana yang berafiliasi dengannya. Sebagaimana untuk menentukan risiko digunakan pendekatan: R = H x V/C, di mana R adalah risiko (risk), H adalah bahaya (hazard), V merupakan kerentanan (vulnerability), dan C adalah kapasitas (capacity). Jika kerentanan meningkat dan/atau dibarengi peningkatan kemampuan merusak dari suatu bahaya, maka risiko juga meningkat. Apabila bahaya dianggap given—meskipun pada beberapa jenis bisa dikelola, risiko dapat dikurangi dengan menurunkan kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Hal inilah yang mendasari paradigma pengurangan risiko bencana dalam penanggulangan bencana terkini. Mahfum diketahui bahwa penanggulangan bencana telah mengalami perkembangan paradigma dari responsif (ada yang menggunakan istilah “represif” yang biasa digunakan dalam militer; artinya pun berbeda yakni bersifat menyembuhkan, padahal bencana tidak bisa disembuhkan) ke preventif, dari penanggulangan bencana secara konvensional menjadi holistik, dari menangani dampak menjadi mengelola risiko, dari sentralistis ke desentralistis, dari urusan pemerintah semata menjadi urusan bersama pemerintah dan masyarakat, dan dari sektoral menjadi multisektor.

Ketiga filosofi penanggulangan bencana, pada dasarnya merupakan perwujudan paradigma responsif ke preventif dan menangani dampak menjadi mengelola risiko. Menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana merupakan bentuk usaha menurunkan kerentanan. Menjauhkan ancaman bencana dari masyarakat merupakan bentuk upaya meminimalkan ancaman/bahaya. Sedangkan hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana merupakan bentuk usaha meningkatkan kapasitas masyarakat yang berisiko.

Memaknai filosofi pertama secara sempit dengan merelokasi masyarakat yang terpapar ancaman sangatlah sulit. Sekian juta penduduk Indonesia dan ratusan juta penduduk dunia tinggal di kawasan rawan bencana. Mau dipindahkan ke mana? Rasanya tak ada sejengkalpun wilayah di permukaan bumi yang tanpa ada ancaman bencananya. Kalaupun ada, hanyalah sementara waktu. Bumi tempat kita tinggal ini mengalami perubahan secara dinamis-alamiah untuk mencapai suatu keseimbangan. Akibat proses-proses dari dalam dan dari luar, bumi membangun dirinya ditunjukkan dengan pergerakan kulit bumi, pembentukan gunungapi, pengangkatan daerah dataran menjadi pegunungan yang merupakan bagian dari proses internal. Sedangkan proses eksternal berupa hujan, angin, dan fenomena iklim lainnya cenderung melakukan perusakan morfologi melalui proses degradasi, misalnya: pelapukan batuan, erosi, dan abrasi. Proses alam tersebut berjalan terus-menerus. Proses perubahan secara dinamis dari bumi ini dipandang sebagai potensi ancaman/bahaya bagi manusia yang tinggal di atasnya.

Relokasi berarti mencabut masyarakat dari akar kehidupannya. Nenek moyang kita memilih tinggal bermukim di suatu tempat dengan berbagai pertimbangan. Gunungapi menciptakan kesuburan, menghasilkan bahan mineral, dan menyediakan bahan galian untuk membangun. Sungai menyediakan kebutuhan air, urat nadi transportasi, dan wilayah pertanian yang subur. Laut dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya menyuplai bahan makanan. Yang salah adalah kita. Rakus mengeksploitasi sumber daya alam demi memenuhi kesenangan, tidak lagi mendasarkan pada kebutuhan. Jadi, filosofi pertama kurang pener sehingga tidak relevan untuk diajarkan.

Meminimalkan Ancaman

Tindakan menjauhkan ancaman bencana dari masyarakat (secara logika) tidak bisa dilakukan. Apa yang dicontohkan Sri Mulyadi, misalnya penyudetan sungai, normalisasi sungai, penghijauan kawasan pantai, dan reboisasi pascapenebangan hutan, bukanlah menjauhkan ancaman, tetapi menghindarkan ancaman atau lebih tepatnya meminimalkan ancaman dalam koteks manajemen risiko bencana. Bahaya erupsi gunungapi seperti leleran lava, awan panas, dan lahar hujan hanya dapat diminimalkan. Pertanyaan retorik “Siapa yang bisa memindah Gunungapi Merapi?” tak bakal muncul jika kita memahami konsep ini. Selain itu, menganggap Merapi sebagai sumber bencana adalah kesalahan besar. Silakan tanyakan kepada masyarakat yang tinggal di sana. Merapi adalah sumber kehidupan dan kemakmuran. Kesimpulannya, filosofi kedua juga kurang pener sehingga tidak relevan untuk disampaikan.

Nyaman Bersama Ancaman

Pelaku penanggulangan bencana sangat setuju dengan filosofi ketiga, hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana. Makanya ada slogan ”hidup nyaman bersama ancaman”. Yang penting adalah masyarakat memahami risiko yang dihadapinya dan mampu mengelola risiko bencana tersebut. Kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki harus terus disesuaikan dengan perubahan karakteristik ancaman/bahaya.

Sejalan dengan paradigma penanggulangan bencana terkini dan nafas otonomi daerah, desentralisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan solusinya. Prinsipnya, harus ada kejelasan dalam pembagian kewenangan penanggulangan bencana antararas pemerintahan, sumber pembiayaan yang memadai untuk melaksanakan kewenangan, dan upaya untuk memberdayakan masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah berperan dalam, pertama, menyusun peraturan/hukum untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam dan dampak bencana. Kedua, mengatur kewenangan dan tanggung jawab penanggulangan bencana. Ketiga, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana yang sesuai dengan prinsip-prinsip penanggulangan bencana: cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparan dan akuntabel, serta kemitraan. Keempat, menjamin upaya pengurangan risiko bencana terintegrasi dalam program pembangunan. Kelima, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta dalam penanggulangan bencana. Bencana?! Jika Siap Kita Selamat.

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment